Football, meskipun pertama kali disebut dalam larangan- larangan para raja pada abad 17 dengan nama fute-ball, istilah ini semakin populer setelah ditulis dramawan Inggris yang terkenal, William Shakespeare. Dalam King Lear seorang tokohnya mencemooh tokoh lain yang dianggap dungu sebagai “football player”. Shakespeare melanjutkannya ketika menulis Comedy and Errors (adegan II). Istilah ini masih dipakainya untuk mencemooh tokoh yang begerak tak tentu arah.
Tahun 1863 merupakan tonggak sejarah sepak bola modern. Selain ada wasit, luas lapangan dan jumlah pemain yang dibatasi, sepak bola juga hanya memakai kulit binatang yang diisi udara. Permainan ini kemudian menyebar ke negara jajahan Inggris dan berkembang pesat dan kompleks sebagai budaya massa dalam abad modern.
Orang Inggris keliru ketika pada Piala Eropa 1996 memasang spanduk besar-besar dengan bunyi: sepak bola kembali ke tanah leluhurnya. Orang Inggris mengacu pada kelahiran Asosiasi sepak bola (FA) yang baru berusia dua abad itu. Mereka keliru karena sepak bola adalah produk santun kebudayaan Timur.
Sebagai sebuah budaya massa, sepak bola telah menarik minat para ilmuwan dengan pelbagai latar belakang: sosial, ekonomi, politik, filsafat. Victor Matheson dari Departemen Ekonomi William College, Inggris, dalam penelitiannya di tahun 2003 menyimpulkan bahwa klub-klub profesional di Eropa dan Amerika Selatan menyumbang pertumbuhan ekonomi yang signifikan kepada negaranya. Setiap klub, dengan perputaran uang triliunan rupiah, setidaknya mempekerjakan 3.000 karyawan. Atau holiganisme di Inggris yang menarik minat para sosiolog dalam meneliti pendukung sebuah kesebelasan.
Para pemikir sudah lama menaruh minat pada olahraga ini. Albert Camus pernah bilang bahwa dirinya berutang kepada sepak bola karena olahraga ini mempertontonkan soal moral dan tanggungjawab. Di masa mudanya, Camus pernah jadi kiper, karena itu ia punya lebih banyak waktu merenungkan pertandingan. Claude Levi- Strauss, Sartre hingga Gramsci juga sudah menulis kajian filsafat sepak bola. Di Australia, pengelola klub menyeleksi pemain dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud.
Karena itu Cao Yang tetap gemas meski Cina sudah diakui sebagai tanah leluhur sepak bola. Ia gemas karena Eropa mampu mencuri permainan ini dan maju dengan itu.
Selesai!!!!
eeiitzzz...jangan lupa baca juga "tonggak-tonggak sejarah dalam sepakbola."
Ingin Update informasi AC Milan dan Persipura langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda disini.
0 komentar:
Posting Komentar
Trims karena sudah bersedia meluangkan waktu untuk berkomentar di blog saya (Tapi yang SOPAN yach, dan JANGAN melakukan Spaming)